Jakarta, MCP — Analis memprediksi negara-negara di Asia Tenggara akan semakin kesulitan atas program pendanaan utang Belt and Road oleh China.
Melalui program ini, mereka menawarkan bantuan pendanaan pembangunan infrastruktur kepada sejumlah negara.
Ahli menilai pendekatan China agar lebih berhati-hati terhadap program Belt and Road di Asia Tenggara dapat mencegah peminjam mengambil pinjaman sesukanya karena kekhawatiran akan sulitnya mendapatkan bantuan internasional jika terjadi gagal bayar.
Baca juga : Apa itu Hiperinflasi?, Ancaman usai Inflasi Nyaris 6 Persen per September
Konservatisme yang berkembang di sekitar proyek semacam itu harus sesuai tuntutan transparansi baru dari lembaga keuangan global yang bertujuan untuk mencegah tekanan utang negara.
Organisasi seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia telah mendorong pemantauan utang yang lebih ketat dan lebih berkelanjutan karena kenaikan suku bunga global dan meningkatnya kekhawatiran tentang risiko utang di negara-negara berkembang.
Lucio Blanco Pitlo III, peneliti di Asia-Pacific Pathways to Progress Foundation mengatakan peningkatan pengawasan IMF dapat membantu persyaratan pengungkapan dan “memberikan wawasan mendalam kepada IMF tentang bagaimana pinjaman China beroperasi”.
Menurut laporan Bank Dunia tahun lalu, China telah muncul sebagai pemberi utang terbesar negara-negara penghasilan rendah hingga menengah. Utang gabungan negara-negara itu ke Negeri Tirai Bambu mencapai US$170 miliar pada akhir 2020, lebih dari tiga kali lipat dibandingkan pada 2011. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur besar.
“China mengkompensasi keterlambatan masuknya ke pasar kredit dengan mengambil lebih banyak risiko, mendanai proyek-proyek yang sebagian besar pemberi pinjaman mapan tidak akan lakukan,” kata Pitlo dikutip dari South China Morning Post, dan cnn..
Mengingat perlambatan ekonomi China, ditambah dengan ‘gemuruh domestik’ atas pengeluaran berlebihan pada beberapa proyek Belt and Road, pihak berwenang tidak punya banyak pilihan selain berhati-hati, kata Benjamin Barton, profesor di kampus Universitas Nottingham Malaysia,
Barton menambahkan prospek “janji-janji besar pembiayaan” ditambah dengan wilayah abu-abu peraturan kadang-kadang membuat mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan rencana Belt and Road, bank sentral, perusahaan milik negara China dan pemerintah negara-negara yang berpartisipasi, mengabaikan keuangan, politik, dan lingkungan.
Baca juga : Rusia Naik Panggung 48 Wakil Negara Walk Out di Konferensi UNESCO
Proyek ini juga telah banyak dikutip sebagai bukti China mempraktikkan “diplomasi jebakan utang”, sebuah tuduhan yang telah dibantah mereka. Namun, mantan gubernur bank sentral Zhou Xiaochuan pada April mengakui bahwa beberapa pinjaman China mungkin tidak selalu dirancang dengan hati-hati dan komunikasi yang buruk.
Chanrith Ngin dari The University of Auckland di Selandia Baru mengatakan seruan untuk transparansi yang lebih besar merupakan langkah positif untuk memastikan pinjaman yang sehat. Namun negara seperti Laos, Malaysia dan Indonesia “akan merasa tertekan” untuk mengungkapkan rincian dari utang mereka dan pinjaman lainnya yang dapat menimbulkan kritik dari jumlah yang dihabiskan dan menyebabkan keterlambatan dalam proyek.
Pada akhir 2021, investasi non-keuangan China di 57 negara belt and road mencapai US$20,3 miliar, dan tujuh dari 10 penerima utama adalah negara-negara Asia Tenggara yakni Singapura, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Laos, Thailand, dan Kamboja.
“Pemerintah di wilayah tersebut akan berhati-hati dalam mengumpulkan terlalu banyak proyek tanpa melakukan uji tuntas yang memadai pada risiko keuangan yang terlibat,” kata Barton.
Berita lainnya :
- Kaesang Pangarep Resmi Masuk PSI, Penyerahan KTA Langsung oleh Giring
- Kepsek SD Negeri Cibeureum Lawan Wali Kota Bogor Bima Arya
- Tim Pemenangan Anies-Cak Imin Umumkan Nama Tim Pemenangan Baja
- SBY Nyanyikan Lagu,Prabowo Asyik Berjoget ‘Kamu Nggak Sendirian’ di Rapimnas PD
- Partai Demokrat Resmi Usung Ketum Gerindra Prabowo Subianto Balon Presiden 2024
Jon Yuan Jiang dari Universitas Teknologi Queensland, mengatakan masuk akal bagi Beijing untuk berhati-hati dan mengakhiri “pemborosan modal yang belum matang” sebelumnya.
“Apa gunanya Beijing meminjamkan uang ke suatu negara dan kemudian negara ini tidak dapat membayar China dan juga opini publik terhadap China menurun? tanya Jiang.
(fby/bac)