
Jakarta, MCP — Uang kuliah tunggal (UKT) selalu menjadi persoalan yang muncul setiap tahun bagi mahasiswa. Persoalan transparansi, penetapan golongan yang kurang tepat sasaran hingga tidak adanya masa sanggah di setiap semester sering dikeluhkan. Bahkan sebagian mahasiswa yang tidak mampu membayar terpaksa mengambil cuti kuliah.
Zahra Wafiq, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Sahid Surakarta ini mengaku mengalami kesulitan untuk membayar UKT. Tidak adanya sanggah UKT per semester menjadi salah satu kendala. Kondisi ini membuat dia terpaksa mengajukan cuti dan bekerja part time.
“Karena tidak ada sanggah UKT di semester ini terpaksa saya mengajukan cuti,” ujar Zahra saat ditemui di kampus setempat pekan kemarin.
Baca juga : Aletha Shahisa Mahasiswi Lulusan ITB dengan IPK Terbaik, Begini Kegiatan dan Tips Belajarnya
Zahra menjelaskan, dia sangat keberatan jika sanggah UKT hanya dilakukan di awal semester satu saja. Mengingat, keadaan ekonomi orang tua tidak bisa diprediksi di tahun-tahun selanjutnya. Seharusnya pihak kampus juga mempertimbangkan kembali sistem sanggah UKT di semester berikutnya.
Andin Monik, mahasiwa UIN Raden Mas Said lainnya juga merasa keberatan sanggah UKT hanya diajukan ketika awal semester. Ini cukup membebankan mahasiswa yang mengalami kondisi tidak terduga.
“Pendapatan orang tua kan tidak bisa diprediksi. Apalagi setelah pandemi kemarin anjlok. Sedangkan di rumah masih ada adik yang sekolah dan harus mengeluarkan biaya juga. Kemarin saat ada pengumuman keringanan UKT ikut mengajukan, tetapi ditolak (dari kampus),” ujarnya
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Raden Mas Said Ayuk Latifah mengatakan, sering menerima keluhan dari mahasiswa terkait pembayaran UKT. Pengaduan ini kebanyakan dilakukan secara online melalui direct message (DM) ke akun Instagram DEMA-U.
“Keluhan di setiap sanggah UKT pasti ada, banyak mahasiswa yang DM ke DEMA terkait pembayaran UKT,”
Baca juga : Terbiasa Dengan Kehidupan Penuh Tantangan, Yahudi Dianggap Bangsa Pintar
Ayuk menjelaskan, DEMA berusaha untuk melakukan audiensi dengan rektorat terkait masalah pembayaran UKT. Agar ke depan sanggah UKT dapat dilakukan di setiap semester. Apabila kampus masih belum mengubah kebijakan itu, sebaiknya ada perpanjangan tenggat waktu pembayaran UKT, mengingat kondisi ekonomi keluarga setiap mahasiswa berbeda-beda.
“Kami usahakan untuk audiensi dengan ektorat, agar mendapat kebijakan yang lebih solutif lagi,” ungkapnya.
Di bagian lain, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Inggit Syafani menilai, tingginya UKT membuat beberapa mahasiswa memilih untuk drop out dan tidak menyelesaikan kuliahnya. Ditambah di tengah kondisi pendemi saat ini, banyak orang tua yang terdampak.
Berita lainnya :
- Turis Asing Asal Polandia Kemping Ditepi Pantai Purnama Ngamuk Saat Ditegur
- Pasukan Muslim Pernah Kepung Benteng Yahudi Di Wilayah Khaibar
- Kepala BIN Budi Gunawan : Aura Pak Jokowi Pindah ke Pak Prabowo
- KPK Jelaskan Tersangka Baru Kasus Korupsi Pembangunan Stadion Mandala Krida Yogyakarta
- Ketua MPR Bambang Soesatyo Tak Yakin Nasib Kota Negara (IKN) Nusantara, Setelah Presiden Jokowi Berakhir 2024
Dia mencatat ada beberapa rekannya di sejumlah fakultas yang terdampak akibat tingginya UKT. Banyaknya persyaratan yang diminta kampus, juga sangat membebani mahasiswa. Apalagi kondisi keuangan mahasiswa tidak sama. Sehingga tidak dapat disangkal angka UKT sangat membebani.
“Saat-saat membayar UKT memang menjadi momok yang cukup menakutkan bagi mahasiwa dari ekonomi menengah ke bawah yang tidak masuk kriteria penerima bantuan,” ujar dia.
